PENDIDIKAN TINGGGI ISLAM DI INDONESIA
Oleh: Idham
Okalaksana Putra
A.
Pendahuluan
Perkembangan dunia
pendidikan berkembang sangat pesat bak secar kualitas dan kuantitasnya
terkhusus dalam Lembaga Pendidikan Islam.
Hal itu tidaklah terlepas dari peranan tokoh-tokoh dan sejarah yang
ada. Tokoh-tokoh perjuang pendidikan
termasuk didalamnya para ulama berjuang sangat keras agar terwujud lembaga
pendidikan Islam di bumi Nusantara. Lembaga pendidikan yang berkualitas dengan
melahirkan pemikiran yang bermutu, tidak lain dengan memperjuangkan berdirinya
lembaga penidikan tinggi yang memiliki ciri khas keislaman. Dengan memperjuangkan dibentuknya lembaga
pendidikan tinggi islam, dapat menghasilkan para pendidika yang berkualitas
untuk memberikan pengajaran dan pendidikan di beragai madrasah di berbagai
wilayah. Dengan begitu pendidikan yang
lahir tidak hanya terkhusus dalam pendidikan islam saja, namun juga menguasi
materi diluar pendidikan islam.
Berkualitas dalam metode yang diajarkan, media pembelajaran yang mu,puni
dan ilmu pembelajaran yang berkualitas agar menjadi tenaga pendidik yang
berkualitas.
Sejarah awal terbentuknya
lembaga pendidikan tinggi islam di indonesia dapat kita ketahui dari
cerita-cerita dari mereka yang mengalami kejadian tersebut, beserta data-data
yang falid dimasa itu. Adanya perbedaan
pendapat dan juga sudut pandang yang berbeda dalam menggali informasi
dikarenakan analisis data yang digunakand an juga bagaimana politik yang
berkembang di masa tersebut. ideologi
yang dipegang setiap individu juga termasuk hal yang berpengaruh dalam menggali
sejarah ini. Bagaimanapun pengetahuan
akan sejarah sangat berpengaruh dalam melakukan suatu tindakan di masa
sekarang.
Lembaga Pendidikan Tinggi
Islam memiliki peranan yang penting dalam pendidikan islam secara luas. Harapan akan lahirnya para pendidik yang
memiliki keunggulan dalam bidangnya masing-masing sangat ditunggu-tunggu oleh
masyarakat luas. Sudah ribuan orang yang
dihasilkan dalam Pendidikan Tinggi Islam tokoh-tokoh dan pendidik yang berkualitas
yang memberikan kontribusi bagi bangsa.
Dengan semakin berkembangnya zaman yang terus berkembang, Pendidikan Tinggi Islam perlu berbenah,
dimulai dari Konsep yang diterapkan, Kurikulum yang akan dijalankan, Visi dan
Misi yang menjadi dasar arah perkembangan Pendidiakn Tinggi Islam dan
nilai-nilai luhur yang harus tetap dijaga dan dipertahankan.
Harapan besar bagi
Pendidikan Tinggi Islam agar melahirkan para cendikiawan dan ilmuwan yang juga
memiliki pengetahuan mengenai Ilmu alam dan sosial yang dapat relevan untuk
mengembangkan keilmuawan ditengah masyarakat.
Dengan begitu diskriminasi terhadap dunia pendidikan islam tidak akan
timbul. Masyarakat menilai bahwa pendidikan
islam hanya akan menghasilkan lulusan yang memiliki keahlian dalam bisang
keagamaan saja. Mengembangkan kelimuawan agama memang sangat penting untuk
bekal diakhirat, namun sebagai jalanya untuk meraih kesuksesan akherat perlu
jalan untuk mencapainya dengan pengetahuan umum agar keseimbangan antara
kesuksesan dunia dan akherat bisa diraih secara bersamaan.
Walaupun tak dapat
dipungkiri sekarang ini ada beberapa Pendidikan tinggi islam yang sudah membuka
diri dengan membuka fakultas umum yang mendalami bidang ilmu Alam dan sosial.
Usaha tersebut menurut penulis merupakan terobosan baru secara teknis
kelembagaan untuk bisa menghasilkan lulusan yang berkompeten seperti
universitas-universitas umum. Sehingga upaya demikian ini penulis yakini bisa
berdampak bagus secara kelembagaan bagi Pendidikan tinggi islam yang mengadakan
pembaruan manajemen lembaga dan organisasinya.
Dalam usaha
untuk mengembangkan lembaga Pendidikan tinggi islam seperti dalam
paparan di atas maka menurut penulis sangat perlu kiranya mengkaji terlebih
dahulu Sejarah Pendidikan Tinggi Islam Indonesia. Pengkajian sejarah ini
diperulkan untuk mengetahui kelemahan dan kelebihan Pendidikan tinggi Islam di
masa lalu. Nilai guna yang lain adalah sebagai dasar atau landasan filosofis
bagi upaya pengembangan lembaga Pendidikan tinggi Islam sekarang ini. Dan
keperluan lainnya adalah sebagai bentuk penghormatan terhadap pejuang-pejuang
islam yang telah berjerih payah mendirikan dan mengembangkan lembaga-lembaga
Pendidikan tinggi Islam sehingga menjadi yang seperti sekarang ini.
B. Pembahasan
1. Ilmu dan Agama
Antara
ilmu sains dan agama pada zaman dahulu sangat menarik untuk diperbincangkan ada
perbedaan mendasar antara ilmu sains dan juga agama sains. Dimulai dari sikap
skeptis dalam ilmu sains dan juga agama memiliki beberapa perbedaan yang
pertama, sains semua dari sikap skeptis dan tak mudah percaya sedangkan agama
adalah kebalikan dari hal tersebut yakni agama memiliki ciri khas yakni percaya
dan pasrah kepada otoritas transenden. Jika kebenaran sains harus diperoleh
melalui berbagai macam observasi dan eksperimen serta sifatnya adalah empiris
namun kebenaran dalam pandangan agama, yakni memperoleh hanya diterima melalui
perantara Wahyu sebagai rahmat dari Tuhan dan banyak juga upaya-upaya yang
dilakukan oleh para peneliti untuk memberikan titik temu antara keduanya.
Konflik antara ilmu dan juga agama sudah
memiliki sejarah yang sangat panjang, dimulai dari masa Yunani kuno yang mulai
mempertanyakan bagaimana penciptaan alam semesta. Ini terjadi awal mula pemikiran ini merupakan
penghargaan terhadap akal sekaligus perkembangan ilmu sains dan pencapaian
puncaknya terjadi pada zaman kaum sofis yang memiliki ajaran nihilism atau
ketiadaan dan relativism atau kesementaraan. Awal mula pemikiran ini merupakan
penghargaan terhadap akal sekaligus perkembangan ilmu sains dan pencapaian
puncaknya terjadi pada zaman kaum sofis yang memiliki ajaran nihilism atau
ketiadaan dan relativism atau kesementaraan[1].
Setiap individu memiliki hak untuk menentukan kebenaran yang bersifat relatif
hal ini sudah menggoyahkan kaidah sains dan keyakinan agama.
Pada
perkembangan selanjutnya keutamaan pada pemikiran yang berasumsikan pada akar
mulai mengalami keterpurukan dimulai dari abad pertengahan dimana doktrin
gereja pada zaman itu memiliki kekuatan paling utama pada zaman ini. Kedudukan akal lebih rendah daripada keimanan
doktrin pada waktu itu lebih didominasi oleh doktrin agama atau gereja
tokoh-tokohnya nya antara lain plotinus, augustinus, dan anselmus. Pada zaman itu bahkan ada sebuah anggapan
bahwa hanya memberikan pelajaran mengenai sains kealaman dianggap sebagai
pemborosan waktu dan juga termasuk dalam perilaku yang sia-sia seluruh
keutamaan yang dimiliki oleh eksistensi akal digantikan oleh keimanan yang
bersifat dogmatis, memberikan sesuatu statemen bahwasanya kebenaran tidak lagi
relatif melainkan kebenaran itu bersifat Absolut, yang muncul karena adanya
keimanan pada Tuhan di mana kebenaran tersebut mesti harus didahulukan setelah
itu barulah mengerti.[2]
Pertentangan
antara ilmu sains dan juga agama terus berlanjut sehingga pada zaman
Renaissance. Dengan adanya beberapa penemuan dalam bidang sains antara lain
yakni penemuan copernicus dan dilanjutkan dengan Kepler dan terakhir Galileo
tentang struktur hukum alam yang mengatakan bahwasanya matahari adalah sebagai
pusat tata surya dalam kata lain yakni heliocentric. Pandangan yang dikemukakan
oleh filsuf ini sangat bertentangan dengan pemahaman gereja bahwasannya gereja
masih memiliki kekuatan pada anggapan bahwa Sanya bumi adalah pusat tata surya
atau geocentric. Dalam pandangan gereja mereka tidak mempercayai Kebenaran akan
doktrin tersebut dianggap kafir Sebaliknya apabila menerima kebenaran agama
berarti mengingkari kebenaran sains.[3]
Pada
zaman modern akan kembali mendapatkan tempat berbeda dari abad pertengahan yang
lebih mengedepan agama akibat adanya doktrin kuat dari gereja paham
rasionalisme merupakan aliran besar yang sedang berkembang, ditambah dengan dua
aliran lainnya yakni idealisme dan empirisme ketiga aliran tersebut menjadikan
filsafat modern membingungkan orang modern.
Adanya
pertentangan pada zaman tersebut menjadi ciri khas antara ilmu sains dan ilmu
agama. Adanya pertentangan antara ilmu sains dan doktrin keagamaan yang
dilakukan oleh Gereja memberikan efek yang luar biasa pada perkembangan zaman
kala itu berbeda dengan kemunculan Islam Islam memberikan wawasan bahwasannya
tidak ada pertentangan antara ilmu dan agama seperti yang dikutip oleh Herman
Suardi dan Muhammad Nur Wan Daud dalam landasan surat Al Alaq ayat 4-5 yang
artinya yang mengajar manusia dengan perantaraan kalam yang mengajarkan kepada
manusia apa yang tidak diketahuinya dilanjutkan dengan surat Albaqarah ayat 32
yang menjelaskan bahwasanya ilmu itu berasal dari Allah ayatnya dengan arti
Maha Suci engkau tidak ada yang kami ketahui selain yang telah engkau ajarkan
kepada kami sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mengetahui dan maha bijaksana
manusia mendapatkan ilmu melalui pembacaan terhadap ayat-ayat ciptaan Allah
ayat-ayat tersebut yakni qauliyah dan ayat kauniyah. Selanjutnya lahir dari
sumber tersebut ilmu ilmu kealaman ilmu sosial dan humaniora maka pada kalangan
umat Islam mereka sepakat bahwa sumber ilmu adalah Allah yang maha kuasa Maka
tidak ada pertentangan antara berilmu dan Islam bahkan berilmu adalah bagian
dari esensi keberagaman berilmu berarti beragama[4]
Pengembangan
ilmu di lembaga-lembaga pendidikan tinggi Islam khusus pada PTKI, memiliki
sebuah dokumen pokok yang sering disebut keilmuan yang bersifat integratif atau
disebut juga integrasi ilmu dan agama tentu saja pandangan ini tidak mudah
diterima Bagaimana menghubungkan antara ilmu dan agama dalam suatu bingkai
pengembangan keilmuan sebagaimana yang diinginkan oleh lembaga PTKI tersebut.
Pengembangan ilmu secara teoritis
dapat dipahami pada beberapa varian antara lain 1)
Menyusun teori ilmu tersebut, 2) menemukan
teori baru untuk menggantikan teori lama, 3)
merevisi teori lama keempat membatalkan teori lama. Walaupun demikian namun tetap dikatakan
mengembangkan ilmu.[5]
Predikat Islam memiliki karakteristik yakni dibangun atas dasar Al Quran dan
as-sunnah juga pengalaman sejarah di masa yang lalu dari tiga landasan ini kita
memiliki dasar yang kuat untuk mengkonstruksi pendidikan Islam.[6] Al Quran dan as-sunnah merupakan keunggulan
yang diajarkan dalam Islam sumber ajarannya yang bersifat universal melampaui
ruang dan juga waktu dan dapat digunakan oleh setiap manusia yang berlaku di
setiap perkembangan zaman. Sementara
sejarah Islam di masa lalu menjadikan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam
sebagai teladan dan juga peradaban Islam di masa lampau yang menjadikan masa
tersebut menjadi zaman keemasan, yang memberikan inspirasi pendidikan Islam di
masa kini.
Pengembangan
pendidikan Islam terutama pada jenjang lembaga pendidikan tinggi membutuhkan
perencanaan yang sangat mendasar, terutama pada kerangka filosofis keilmuannya
ada beberapa pengembangan yang perlu ditingkatkan antara lain dari aspek sumber
daya manusia dan infrastruktur kampus agar pencapaian visi misi dan tujuan
pendidikan dapat menghasilkan lulusan yang berkualitas. Pengembangan ilmu pada perguruan tinggi yang
berlandaskan atas Islam mesti berdasar atas sumber pokok ajaran tidak ada
dikotomi antara ilmu dan agama berarti secara ontologi, pendidikan Islam tidak
mengenal dikotomi antara cara ilmu yang menggunakan akal atau resign dengan
agama yang diturunkan melalui Wahyu atau revalition.[7]
Perguruan
tinggi dalam mengembangkan Ilmu juga memiliki panduan sebagaimana yang tertera
dalam healts (higher education long term strategy) 2003-2010, di mana
tertuang bahwasanya adanya ambil andil perguruan tinggi dalam meningkatkan daya
saing bangsa di Kancah internasional sebagaimana perekonomian yang kalah ini
mengalami perubahan dengan tuntutan kualitas lulusan perguruan tinggi yang
dapat sesuai dengan tuntutan kerja. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan
Direktorat Jenderal pendidikan tinggi 2010-2014 memberikan komitmen dengan
salah satu tujuannya yaitu “ketersediaan pendidikan tinggi Indonesia yang
memiliki mutu dan juga relevan dengan kebutuhan pembangunan nasional sehingga
memiliki kontribusi yang nyata pada peningkatan daya saing bangsa”.[8]
Pendidikan
tinggi Islam yang sudah mulai berkembang tidak hanya berkutik pada masalah
keagamaan saja namun dalam hal-hal lainnya dituntut untuk memberikan pengaruh
yang positif di kalangan masyarakat, agar di masa yang akan datang apabila
sudah dirancang dengan baik untuk mengambil keputusan dalam ikut serta
membangun bangsa maka PTKI juga harus mempertegas visi dan misinya.
Misi perguruan tinggi yang utama
menurut Ortega dalam mission of the university adalah sebagai sarana transmisi
budaya, pengajaran profesi profesi tertentu, aktivitas ilmiah serta penyiapan
para calon ilmuwan. Pengembangan ilmu di
perguruan tinggi mesti mengacu misi utamanya selain juga fokus pada tujuan dan
kompetensi lulusan yang hendak dihasilkan.[9]
2.
Berdirinya
Pendidikan Tinggi Islam
Sesungguhnya upaya
pendirian Pendidikan tinggi islam pada waktu sebelum kemerdekaan dan sesaat
setelah kemerdakaan Indonesia merupakan agenda internal umat islam untuk maju
dan bangkit dari keterjajahan. Lebih lanjut lagi adalah untuk meningkatkan
derajat umat islam agar bisa keluar dari keterbelakangan. Semangat modernsime
dan kesadaran umat islam untuk berpendidikan tinggi adalah pengaruh dari
pemikiran tokoh-tokoh modern islam sekitar tahun 1900-an seperti Jamaluddin
al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridho. Sehingga dalam pengelolaan
Pendidikan tingginya umat islam mengambil ilmu manajeman Pendidikan dari barat
misalnya adalah UII pada awal berdirinya. Adopsi tersebut mulia dari model
kelembagaan, manajeman lembaga, dan jenis ilmu pengetahuan yang dikembangkan
oleh Barat dari hasil riset dan pendalaman ilmu.[10]
Sebenarnya keinginan
untuk mendirikan lembaga pendidikan tinggi Islam sudah dirintis sejak zaman
kolonial Belanda. Pelaksanaan cita-cita dan gagasan mendirikan Sekolah Tinggi
Islam, seperti yang dikemukakan dan dikumandangkan dalam mu'tamar-mu'tamar
organisasi Islam setelah selesai Perang Dunia I itu, "tampak sudah dimulai
oleh Syarikat Islam. Kemudian pada mu'tamar seperempat abad
Muhammadiyah di Jakarta tahun 1936, juga dipustkan untuk mendirikan Sekolah
Islam Tinggi dengan membuka Fakultas Dagang dan Industri. Nahdlatul
Ulama juga mempunyai cita-cita yang sama, dan begitu juga
organisasi-organisasi Islam yang lain. Tetapi sebelum itu, di Majalengka, Kiai
Halim, dengan organisasi Persatuan Oemat Islam, telah merwujudkan
langkahlangkah tersebut. Sejak tahun 1917, Kiai Halim, telah giat mendirikan
sekolah-sekolah dari tingkat ibtidaiyah sampai al-Jami'ah (Pendidikan
tinggi) dengan berlokasi di atas gunung dan tanah belukar yang diberi
nama "Santi Ashrama" walaupun upaya mendirikan
Pendidikan tinggi tersebut kemudian dihalangi-halangi dan dibubarkan.oleh
Belanda.[11]
Perjalanan umat islam
dalam mendirikan Pendidikan tinggi di beberapa daerah antara tahu 1904-1941
tidak berjalan lancar bahkan dikatakan tidak bisa bertahan lama, yang pada
akhirnya aktivitasnya berhenti sama sekali (bubar). Hal ini disebab oleh faktor
internal yang mana pendirian Pendidikan tinggi tidak didukung oleh persatuan
umat islam, hanya dilakukan oleh kekuat kecil umat islam. Selain itu ada faktor
internal yaitu adanya perang dunia I dan II serta adanya intervensi Belanda
yang terlebih dahulu sudah mendirikan sekolah-sekolah dan PT sekuler.[12]
Pada tahun 1938 Satiman
Wirjosandjoyo dalam artikelnya di Pedoman Masyarakat pernah
melontarkan gagasan yang baru yaitu pentingnya bagi umat islam untuk mendirikan
Pendidikan tinggi Islam dalam upaya mengangkat harga diri kaum Muslim
ditengah-tengah masyarakat yang juga mengalami kemajuan akibat politik etis
Belanda. Satiman juga mengatakan sewaktu Indonesia masih tidur, pendidikan
pesantren memiliki peran penting bagi pendidikan agama islam. Namun setelah Indonesia
bangun pada sekitar tahun 1904 Masehi diperlukan Pendidikan tinggi Islam guna
mencetak generasi sarjan Islam yang unggul untuk mengelola madrasah. Apalagi
dengan banyak datangnya kaum Kristen yang mendirikan sekolah murah dan dikelola
oleh para sarjana.[13]
Keinginan tersebut baru
terwujud pada tanggal 8 Juli 1945 ketika Sekolah Tinggi Islam berdiri di
Jakarta yang dipimpin oleh Prof. Abdul Kahar Muzakkir sebagai realiasi atas
keinginan Yayasan (Badan PenPendidiks Sekolah tinggi Islam) yang dipimpin oleh
Moh. Hatta sebagai ketua dan M. Natsir sebagai sekretarisnya. Moh. Hatta
menyatakan bahwa agama adalah salah satu tiang kebudayaan bangsa oleh karena
itu adanya Pendidikan tinggi Islam merupakan hal yang sangat penting untuk
memperkokoh kedudukan masyarakat. Seiring berjalannya waktu pada masa revolusi,
STI mengikuti pemerintahan pusat RI yang pindah ke
Yogyakarta dan pada tanggal 10 April 1946 STI dibuka kembali di Jogjakarta.[14]
Berdirinya pendidikan
tinggi islam selain dilatar belakangi faktor internal, pembentukannya juga
karena adanya tuntutan dari masyarakat dan kondisi sosio kultur bangsa
Indonesia. Yang mana menurut analisis penulis setelah adanya politik etis
(balas budi) oleh Belanda sehingga berdampak pada kesempatan pemuda Indoneisa
belajar ke jenjang lebih tinggi dan juga kesempatan untuk berorganisasi. Hal
tersebut menyebabkan transformasi ilmu pengetahuan berjalan dengan cepat,
banyak sekali ilmu-ilmu yang dipandang baru masuk ke Indonesia. Sehingga sistem
pendidikan pesantren dipandang tidak lagi relevan dengan pendidikan terkini.
Walaupun demikian bukan berarti pesantren ditinggalkan begitu saja, kelebihan
yang ada di pesantren tetap digunakan untuk digunakan di Pendidikan tinggi
Islam.[15]
Kaum muslimin tidak hanya
memandang pendidikan sebagai pusat peningkatan kualitas SDM tetapi juga sebaga
pusat menstransmisikikan doktrin Islam kepada generasi penerus. Oleh karena itu
dipandang perlu bahwa umat islam di Indonesia harus memiliki Pendidikan tinggi
sebagai pencetak mahasiswa, cendekiawan, kyai, Pendidik, ataupun keahlian
liannya yang bisa menjalakan misi tersebut kepada masyarakat luas. Kesadaran
yang tinggi umat Islam indonesia akan pentingnya pendidikan merupakan hasil
interaksi dan koneksi antara pusat-pusat studi di Timur Tengan. Yang mana
banyak sekali umat islam Indonesia yang memiliki kekuatan finansial lebih
menuntut ilmu di Pendidikan tinggi Timur tengah. Dengan banyaknya alumni
tersebut maka menyebabkan masyarakat islam lain terdorong untuk menempuh
pendidikan tinggi.[16]
Melihat fenomena tersebut
maka banyak sekali gagasan yang muncul di kalangan umat islam untuk mendiri
Pendidikan tinggi hal ini dilatarbelaking oleh berbagai faktor. Antara lain
adalah untuk mengakomodasi kalangan yang tidak memiliki kesempatan untuk
melanjutkan ke Timur Tengah. Dan keinginan untuk mewujudkan lembaga pendidikan
Islam sebagai kelanjutan dari pesantren atau madrasah. Selain itu untuk
menyeimbangakn jumlah kaum terpelajar yang berasal dari lembaga sekolah sekuler
dengan tamatan sekolah agama. Gagasan tersebut tidak hanya mengalir dari
kalangan ulama atau tokoh-tokoh agama, namun juga muncul dari kalangan pelajar
Muslim yang merupakan tamatan dari sekolah sekuler.[17]
Menurut
Komarudin&Hendro pendirian Pendidikan tinggi islam selain didasarkan pada
faktor edukasi, modernisasi, dan dakwah, juga dilandaskan karena faktor
kepentingan ideologis (yang lebih cenderung ke ranah politik). Lebih lanjut
lagi bagi umat islam PTKI dijadikan sebagai salah satu istrumen ideologis untuk
mempertahankan tradisi dan syiar islam. Dengan kata lain PTKI bisa befungsi
sebagai benteng ideologi masyarakat dari serang ideologi lain yang dipandang
berbeda. Atas dasar itulah maka Depag pada waktu itu memutuskan menggandakan
PTKI menjadi puluhan fakultas dan disebar ke berbagai daerah. Kebijaksanaan ini
dimaksudkan sebagai bentuk respon berkembangnya faham komunis yang sangat
agresif memasuki berbagai wilayah indonesia.[18]
Pada
awalnya Pendidikan tinggi islam didirikan tidak hanya untuk memenuhi
kebutuhan akademik saja, namu juga untuk memenuhi kebutuhan ilmu agama islam,
ideologi, dan bahkan politik. Yang menjadi ciri khas lain adalah bahwa Jika di
Pendidikan tinggi umum materi kuliah agama islam sekedar menjadi salah satu
mata kuliah saja, sedangkan di lembaga pendidikan tinggi islam materi agama
Islam menjadi fokus kajian utama. Selain itu hanya umat islam saja yang bisa
diterima menjadi mahasiswanya. Sehingga wajar jika keberhasilan kurikulum tidak
hanya diukur dari peningkatan akademik mahasiswanya saja tapi juga perilakunya
yang islami.[19] Sehingga
dapat penulis simpulkan bahwa pada awal berdirinya pendidikan tinggi islam
dihiasi oleh semangat tinggi menjujung nilai-nilai keislaman di sebuah
Pendidikan tinggi. Maka didirikanlah Pendidikan tinggi Islam untuk memunculkan
nilai-nilai dan simbol-simbol islam di Pendidikan tinggi.
Namun ada beberapa
pendapat lain mengatakan bahwa beridirinya PTKI (bukan PTAIS) didasarkan faktor
kecemburuan dari kaum Nasionalis Islam terhadap Kaum Nasionlis Sekuler yang
oleh pemerintah telah dihadiahi lembaga Universitas Gadjah Mada pada tahun 1949
karena peran aktif masyarakat Yogyakarta dalam melawan agresi Belanda. Sehingga
pada tahun 1951 didirikanlah untuk pertama kalinya Pendidikan tinggi Islam yang
berstatus Negeri di Yogyakarta. Walaupun pada awalnya banyak godaan-godaan
politik, sehingga terkesan bahwa semua manuver dan kegiatan PTAI tertuju hanya
untuk kepentingan Islam, lebih jelasnya lagi untuk memperbesar dan merapatkan
barisian politik kaum Muslim. Hal ini untuk mempersiapkan diri menjelang pemilu
1955.[20]
Sehingga dapat penulis
simpulkan bahwa pendirian Pendidikan tinggi bisa juga menjadi mercusuar syiar
Islam di Indonesia, karena PTAI sangat berbeda dengan madrasah. Madrasah adalah
untuk mendidik generasi muda, namun PTAI adalah tempat untuk mendidik Pendidik
madrasah bahkan untuk mendidik intelektual-intelektual di bidang lain. Selain
itu dengan berpendidikan tinggi maka umat islam bisa memiliki ilmu, memiliki
kewibaan, dan memiliki kematangan (kedewasaan) sehingga diharapkan bisa
mengeluarkan umat Islam dari jurang keterbelakangan, penjajahan belanda, dan
ketertinggalan umat islam dari para kaum nasionalis sekuler.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad, Amrullah. "“Kerangka
Dasar Masalah Pendidikan Islam"." Muslih. "Pendidikan Islam
Di Indonesia Antara Cinta Dan Fakta". Yogyakarta: Tiara Wacana
Yogya, 1991. 51-52.
Fathuddin, Usep. " “Perlukah Islamisasi ilmu?” ." Usep
Fathuddin, “Perlukah Islamisasi ilmu?” Jurnal Ilmu Dan Kebudayaan Ulumul
Quran (1994).
Hakim. "http://www.google.co.id/sejarah." n.d. Perkembanan
Perguruan Tinggi. Senin April 2020.
Hakim, Mohammad Arfan. "http://www.google.co.id/
sejarahperguruanislamdiindonesia." n.d. “Perkembanan Perguruan Tinggi
Islam Negeri di Indonesia,” . Senin April 2020.
Kamaruzzaman, Akh. Min Haji dan. ”Masa Depan Pembidangan Ilmu Di
Perguruan Tinggi Agama Islam". Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2003.
kuswanjono, Arqom. ”Integrasi Ilmu Dan Agama Perspektif Filsafat Mulla
Sadra”. Yogyakarta: Badan Penerbit Dan Filsafat UGM, 2010.
Mas’ud, Abdurrahman. ” Menggagas Format Pendidikan Non Dikotomik
Humanisme Religius Sebagai Paradigma Pendidikan Islam”. Yogyakarta: Gama
Media, 2002.
Pendidikan, Kementrian. Rencana Strategis Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi 2010-2014. Jakarta, 2010`.
Prastyo, Komaruddin Hidayat & Hendro. “Problem dan Prospek IAIN”:
“Anotologi Pendidikan Tinggi Islam,” . Jakarta: Dirjen Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam Depag RI, 2000.
tafsir, Ahmad. "Filsafat umum; Akal dan hati sejak thales sampai
capra( pengantar kepada filsafat untuk mahasiswa perguruan tinggi."
Hatta, Muhammad. Alam pikiran Yunani. Jakrta: UI-Press, 1986. 56.
[1] Ahmad tafsir, Filsafat umum; Akal dan hati sejak thales
sampai capra (Pengantar Kepada Filsafat Untuk Mahasiswa Perguruan Tinggi),
(Bandung remaja rosdakarya, 2009) lihat juga Muhammad Hatta, “Alam Pikiran
Yunani”, (Jakarta ui-press dan tinta Maret, 1986), 56.
[2] Ahmad tafsir, filsafat umum.,
66-116.
[3] Arqom Kuswanjono, ”Integrasi Ilmu Dan Agama
Perspektif Filsafat Mulla Sadra”,
(Yogyakarta:
Badan Penerbit Dan
Filsafat UGM, 2010), 1.
[4] Usep Fathuddin, “Perlukah
Islamisasi ilmu?”
Jurnal Ilmu Dan
Kebudayaan Ulumul Quran,
Vol. III, No. 4,1994.
[5] Ahmad tafsir, filsafat umum; akal dan hati sejak thales
sampai capra( pengantar kepada filsafat untuk mahasiswa perguruan tinggi),
(Bandung remaja rosdakarya, 2009) lihat juga Muhammad Hatta, alam pikiran
Yunani,(Jakarta ui-press dan tinta Maret, 1986), 48-49.
[6] Amrullah Ahmad, “Kerangka Dasar
Masalah Pendidikan Islam”
,”Muslih (ed) “Pendidikan
Islam Di Indonesia Antara Cinta Dan Fakta”, (Yogyakarta:Tiara Wacana Yogya, 1991), 51-52.
[7] Abdurrahman Mas’ud, ” Menggagas Format Pendidikan Non
Dikotomik Humanisme Religius Sebagai Paradigma Pendidikan Islam”, ( Yogyakarta: Gama Media, 2002), 44-48.
[8] Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan RI draft: Rencana Strategis
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi 2010-2014, Jakarta: Direktorat Pendidikan
tinggi tahun 2010.
[9] Akh. Min Haji dan Kamaruzzaman, ”Masa Depan Pembidangan Ilmu Di
Perguruan Tinggi Agama Islam (Yogyakarta:
Ar-ruzz, 2003), 26.
[10] Komaruddin
Hidayat&Hendro Prastyo, “Problem dan Prospek IAIN”: “Anotologi
Pendidikan Tinggi Islam,” (Jakarta: Dirjen Pembinaan Kelembagaan
Agama Islam Depag RI, 2000), 119.
[11]Mohammad Arfan Hakim,
“Perkembanan Perguruan Tinggi Islam Negeri di Indonesia,” dalam http://www.google.co.id/
sejarahperguruanislamdiindonesia. (Diakss 20 April 2020)
[12] Hakim,”Perkembanan Perguruan Tinggi”, http://www.google.co.id/sejarah
(Diakses 20 April 2020)
[13] M. Atho
Mudzhar, “Kedudukan IAIN sebagai Perguruan Tinggi,” dalam Problem dan
Prospek IAIN: Anotologi Pendidikan Tinggi Islam, ed. Komaruddin
Hidayat & Hendro Prastyo, (Jakarta: Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama
Islam Depag RI, 2000), 62.
[14] Mudzhar, “Kedudukan IAIN
sebagai Perguruan Tinggi”, 62.
[15] Komaruddin
Hidayat&Hendro Prastyo, Problem dan Prospek IAIN.” Anotologi Pendidikan
Tinggi Islam”, (Jakarta: Dirjen
Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Depag RI, 2000) 19.
[16] Husni
Rahim, “IAIN dan Masa Depan Islam Indonesia,” dalam dalam Problem dan
Prospek IAIN: Anotologi Pendidikan Tinggi Islam, ed. Komaruddin
Hidayat&Hendro Prastyo (Jakarta: Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam
Depag RI, 2000), 410-411.
[17] Husni Rahim, “IAIN dan
Masa Depan Islam Indonesia, 412.
[18] Komaruddin
Hidayat&Hendro Prastyo, Problem dan Prospek IAIN, 20-22.
[19] Komaruddin
Hidayat&Hendro Prastyo, Problem dan Prospek IAIN, 8.
[20] Mudzhar,
“Kedudukan IAIN sebagai,” 65.
No comments:
Post a Comment