Melesat SAT SET: Inspirasi Tanpa Batas (Dari Ibukota ke Wates - Blitar: Paket Harapan dari Kawasan Bukit Wates - Blitar)
Melesat
SAT SET: Inspirasi Tanpa Batas
(Dari
Ibukota ke Wates - Blitar: Paket Harapan dari Kawasan Bukit Wates - Blitar)
Idham Okalaksana Putra
Di balik lembah-lembah
hijau dan perbukitan tenang kawasan Wates, Blitar, hidup seorang perempuan
sederhana yang menjadi tumpuan ilmu bagi anak-anak desa. Namanya Bu Aisyah.
Usianya belum genap 40 tahun, tapi wajahnya penuh gurat ketegasan dan
ketulusan. Sehari-harinya, ia mengajar di SDN Ringinrejo 3 Wates, sekolah yang
berdiri di tengah kebun tebu dan sawah, terpisah jauh dari jalan besar.
Bu Aisyah bukan hanya
seorang guru. Ia adalah ibu dari satu anak dan Ibu rumah tangga sedangkan
suaminya bekerja merantau di Surabaya. Dalam keterbatasan akses dan kondisi
geografis yang menantang, Bu Aisyah mengandalkan belanja daring untuk memenuhi
kebutuhan keluarga dan pendidikannya. Dari sabun mandi, buku pelajaran, hingga
bumbu dapursemuanya ia beli secara online.
Namun, belanja daring di
Wates bukan hal mudah. Di wilayah yang sinyalnya naik-turun dan jalannya belum
seluruhnya teraspal, pengiriman barang adalah tantangan tersendiri. Tapi di
tengah keterbatasan itu, ada satu nama yang selalu hadir membawa senyum: JNE.
Belanja
Online, Solusi dari Keterbatasan
“Kita nggak bisa ke kota
setiap minggu, Mas. Jauh, ongkos bensin mahal, dan waktunya terbatas. Jadi
belanja online itu pilihan paling masuk akal,” ujar Bu Aisyah sambil menyusun
tumpukan buku LKS di ruang kelas.
Baginya, kepraktisan dan
efisiensi adalah segalanya. Di sela-sela mengoreksi tugas murid atau mengatur
kegiatan sekolah, ia menyempatkan diri membuka marketplace di ponselnya. Bagi
sebagian orang, itu hal biasa. Tapi di sini, di lereng perbukitan Wates,
aktivitas itu adalah bentuk adaptasi modern yang luar biasa.
Bu Aisyah bukan
satu-satunya. Ibu-ibu lain di lingkungannya mulai mengikuti jejaknya. Mereka
melihat bagaimana barang-barang bisa datang langsung ke depan pintu, bahkan
ketika rumah berada di ujung tanjakan curam yang hanya bisa dilewati sepeda motor
atau jalan kaki. Tapi satu hal yang membuat semua itu mungkin: kurir JNE. Di
Wates dan juga beberapa tempat dipedasaan, seringkalai untuk mengetahui alamat
penerima, kurir harus bertanya pada orang disekitaran, karena kebanyakan rumah
di desa tidak ada nomor alamat pasti.
Biasanya Bu Aisyah akan memberikan note di alamatnya, dengan
mencantumkan, “Rumah pagar Hitam, samping toko Bapak Tris.”
Menyusuri
Jalan yang Tak Ramah Ban
Kurir JNE di daerah Wates
bukan sekadar petugas pengantar. Mereka adalah pahlawan tanpa sorotan. Pak Hadi,
salah satu kurir yang sering mengantarkan paket ke rumah Bu Aisyah, hafal
setiap belokan, jalan berlumpur, dan kondisi cuaca yang berubah-ubah.
“Kalau musim hujan,
MasyaAllah... jalan ke sana licin kayak belut. Kalau salah ambil jalur, motor
bisa jatuh. Tapi ya, sudah biasa,” kata Pak Hadi sambil tertawa.
Satu kali, ia pernah harus
memanggul paket karena motornya tak bisa naik tanjakan. Jalanan cor rusak,
penuh batu lepas dan lubang dalam. Tapi ia tetap datang. Dengan jaket JNE yang
lusuh dan peluh di dahi, ia ketuk pintu Bu Aisyah sambil mengucapkan salam.
“Bu, ini paketnya. Dari Jakarta lagi, ya?”
Kadang, pengiriman sampai
menjelang malam. Tapi tak pernah Pak Hadi mengeluh. “Yang penting sampai, Bu.
Aman, nggak rusak, dan Bu Aisyah puas,” ujarnya.
Semangat seperti inilah
yang membuat JNE istimewa. Bukan hanya soal logistik dan sistem, tapi karena
ada manusia-manusia di baliknya yang bekerja dengan hati. Mereka menembus
batasjarak, medan, bahkan cuacademi memastikan setiap harapan sampai ke tangan
pemiliknya.
Paket
yang Bukan Sekadar Barang
Di rumah Bu Aisyah, setiap
paket adalah lebih dari sekadar barang belanjaan. Satu kotak sabun bisa berarti
kebersihan anaknya. Satu paket buku berarti semangat belajar yang terus
menyala. Satu karung kecil berisi mainan edukatif bisa membuat murid-murid di
kelas tersenyum saat kegiatan bermain sambil belajar.
“Kadang saya titip paket
untuk siswa juga, Mas. Kalau orang tuanya butuh buku tapi nggak bisa ke kota,
saya bantu beliin sekalian. Nanti dikasih saat belajar,” ujarnya.
Tak jarang, Bu Aisyah juga
menerima kiriman dari suaminya. Bukan uang atau barang mahal, tapi hal-hal
kecil yang menghangatkan hati: sepucuk surat, sehelai kerudung, atau sekadar
oleh-oleh dari luar kota. Semua dikirim lewat JNE.
Setiap kali menerima paket,
wajah Bu Aisyah selalu berseri. Ia menyapa Pak Hadi seolah menyambut saudara
jauh. “MasyaAllah, JNE ini seperti keluarga. Meskipun saya tinggal di pelosok,
rasanya seperti tetap terhubung ke dunia luar,” katanya.
Tak lupa selalu Bu Aisyah
memberikan tips kepada kurir yang mengantarkan paket kerumah, nominalnya
bermacam-macam, terkadang 5000 – 10.000 rupiah.
Hal ini dilakukakn karena rasa peduli dan juga apresiasi kepada para kurir
yang mengantarkan berbagai macam paket ke rumah yang perlu perjuangan.
Melayani
dengan Hati, Bukan Sekadar Tugas
Ada semangat melayani tanpa
batas yang nyata terasa dari hubungan antara pelanggan seperti Bu Aisyah dan
kurir JNE seperti Pak Hadi. Bukan semata karena prosedur kerja, tapi karena
rasa saling percaya dan empati.
Pernah suatu hari, listrik
padam dan sinyal hilang total. Bu Aisyah tidak bisa memantau pengiriman paket
penting berisi bahan praktik IPA untuk murid-muridnya. Ia gelisah, takut barang
tak sampai tepat waktu. Tapi di luar dugaan, sore itu Pak Hadi tetap datang,
meski harus melewati rintangan ekstra karena longsoran kecil menutup jalan.
“Ini paketnya, Bu. Tadi
saya putar lewat jalur belakang. Lumayan jauh, tapi alhamdulillah aman,”
katanya.
Bu Aisyah hampir menangis
saat itu. Bukan karena paketnya sampai, tapi karena merasakan keikhlasan
seseorang yang tidak terikat oleh waktu atau uang. Seolah ada pesan tak
tertulis: "Kami peduli. Kami ingin Anda tetap bisa menjalani hidup sebaik
mungkin."
Konektivitas
yang Menyatukan
Dalam dunia yang semakin
digital, kehadiran kurir seperti Pak Hadi adalah penghubung antara dunia nyata
dan dunia daring. Ia menyatukan ibukota dan Wates, Blitar, bukan hanya secara
fisik, tapi juga secara emosional. Melalui tangan-tangannya, harapan dari Jakarta
sampai ke bukit-bukit Wates, ke ruang kelas SD kecil, ke rumah sederhana
seorang guru, dan ke hati banyak orang yang mulai mempercayai bahwa hidup tak
harus penuh keterbatasan.
Bu Aisyah bahkan pernah
mengajak murid-muridnya membuat gambar tentang "Pahlawan di Sekitar
Kita". Beberapa anak menggambar petani, tukang becak, guru. Tapi satu anak
menggambar kurir JNE dengan tulisan besar: “Terima kasih, Pak. Sudah antar
mainan saya!”
Lebih
dari Sekadar Logistik
Kisah Bu Aisyah dan Pak Hadi
hanyalah satu dari ribuan cerita yang mungkin tak pernah muncul di iklan atau
papan reklame. Tapi justru di situlah letak keistimewaannya. Dalam
kesederhanaan dan keheningan, semangat melayani tanpa batas itu bekerja:
konsisten, tulus, dan penuh harapan.
JNE bukan hanya perusahaan
ekspedisi. Ia adalah jembatan antara kebutuhan dan pemenuhan, antara harapan
dan kenyataan. Dan lebih dari itu, JNE adalah saksi bisu dari perjuangan banyak
orang yang mencoba bertahan dan berkembang di tengah segala keterbatasan.
Ketika ditanya kenapa tetap
setia menggunakan JNE, Bu Aisyah hanya menjawab singkat, “Karena mereka nggak
pernah menyerah, meskipun jalannya menanjak dan berlumpur. Mereka datang.
Selalu datang.”
Dan mungkin, di zaman yang
serba cepat ini, hadir secara konsisten adalah bentuk pelayanan paling nyata.
Terima kasih, JNE telah menjadi bagian dari cerita kecil kami di Wates, yang
penuh harapan besar.
(Cerita merupakan
pengalaman Pribadi dan ada beberapa modifikasi)
Hastag:
#JNE #ConnectingHappiness #JNE34SatSet
#JNE34Tahun #JNEContentCompetition2025 #JNEInspirasiTanpaBatas
Comments
Post a Comment