Islamisasi Dan Pertumbuhan Pendidikan Islam di Masa Awal
Oleh: Idham Okalaksana
A. Pendahuluan
Pada
masa kedatangan dan penyebaran Islam di Indonesia terdapat aneka keragaman
mulai dari suku, organisasi dalam pemerintahan dan budaya. Suku bangsa
Indonesia yang bertempat tinggal di daerah-daerah pedalaman, jika dilihat dari
sudut antropologi budaya, belum banyak mengalami percampuran jenis-jenis bangsa
dan budaya dari luar, seperti dari India, Persia, Arab, dan Eropa. Struktur
sosial, ekonomi, dan budayanya agak statis dibandingkan dengan suku bangsa yang
mendiami daerah pesisir. Mereka yang berdiam di pesisir, lebih-lebih di kota
pelabuhan, menunjukkan ciri-ciri fisik dan sosial budaya yang lebih berkembang
akibat percampuran dengan bangsa dan budaya dari luar.
Perkembangan
lembaga-lembaga pendidikan tersebut telah menarik perhatian para ahli baik dari
dalam maupun luar negeri untuk melakukan studi ilmiah secara komprehensif. Kini
sudah banyak hasil karya penelitian para ahli yang menginformasikan tentang
pertumbuhan dan perkembangan lembaga-lembaga pendidikan islam tersebut.
Tujuannya selain untuk memperkaya khazanah ilmu pengetahuan yang bernuansa
keislaman juga sebagai bahan rujukan dan perbandingan bagi para pengelola
pendidikan islam pada masa-masa berikutnya.
Sebelum
kita mengkaji lebih jauh tentang perkembangan pendidikan islam di Indonesia,
pantasnya kita mengkaji tentang sejarah masuknya islam di Indonesia dan
pendidikan pada masa permulaan. Di sini pemakalah berusaha memaparkan tentang
sejarah masuknya islam di indonesia dan pendidikan islam pada masa permulaan
sebagai awal dari perjalanan untuk mengkaji lebih jauh tentang perkembangan
pendidikan islam di Indonesia.
B. Teori Masuknya Islam di Indonesia
Sejak
awal, penduduk kepulauan Indonesia dikenal sebagai pelayar-pelayar yang sanggup
mengarungi lautan lepas. Sejak awal abad Masehi sudah ada rute-rute pelayaran
dan perdagangan antara kepulauan Indonesia dengan berbagai daerah di daratan
Asia tenggara. Wilayah barat Nusantara dan sekitar malaka sejak masa kuno
merupakan wilayah yang menjadi titik perhatian, terutama karena hasil bumi yang
dijual disana menarik bagi para pedagang dan menjadi daerah lintasan penting
antara cina dan india. Sementara itu, pala dan cengkeh yang berasal dari Maluku
dipasarkan di jawa dan Sumatra untuk kemudian dijual pada pedagang asing.
Pelabuhan-pelabuhan penting disumatra dan jawa antara abad I dan ke VII M
sering disinggahi pedagang asing seperti, lamuri (Aceh), barus dan Palembang di
Sumatra, (sunda kelapa dan gresik di jawa).[1]
Pedagang-pedagang
muslim asal Arab, Persia, dan India juga ada yang sampai ke kepulauan Indonesia
untuk berdagang, sejak Abad ke- 7 M (Abad I H), ketika islam pertama kali
berkembang di Timur Tengah. Malaka jauh sebelum ditaklukkan portugis (1551),
merupakan pusat utama lalu lintas perdagangan dan pelayaran. Melalui malaka,
hasil hutan dan rempah-rempah dari seluruh pelosok Nusantara dibawa ke Cina dan
India, terutama Gujarat, yang melakukan hubungan dagang langsung dengan Malaka
pada waktu itu. Dengan demikian, Malaka menjadi mata rantai pelayaran yang
penting.[2]
Mengenai
tempat asal dan kapan datangnya Islam ke Nusantara, sedikitnya ada tiga teori
besar. Di bawah ini dijelaskan secara singkat seputar teori-teori yang
berkaitan dengan masuknya Islam di Nusantara :
a. Teori Arab
Pertama,
teori yang menyatakan bahwa Islam datang langsung dari Arab, atau tepatnya
Hadramaut. Teori ini dikemukakan Crawfurd (1820), Keyzer (1859), Niemann
(1861), De Hollander (1861), dan Veth (1878). [3]
Crawfurd menyatakan bahwa Islam datang langsung dari Arab, meskipun ia menyebut
adanya hubungan dengan orang-orang Mohameddan di India Timur. Teori ini juga
dipegang oleh Niemann dan de Hollander, tetapi dengan menyebut Hadramaut, bukan
Mesir, sebagai sumber datangnya Islam, sebab muslim Hadaramaut adalah pengikut
madzhab Syafii seperti juga kaum muslimin nusantara.
Sedangkan
Veth hanya menyebut orang-orang Arab, tanpa menunjuk asal mereka di Timur
Tengah maupun kaitannya dengan Hadramaut, Mesir atau India.[4]
Teori yang sama juga diajukan oleh Hamka dalam seminar ‘Sejarah Masuknya Islam
ke Indonesia’ pada tahun 1962. Menurutnya, Islam masuk ke Indonesia langsung
dari Arab (Makkah), bukan dari India.[5]
Sebagian
besar dari pedagang Arab yang berlayar ke kawasan Indonesia datang dari Yaman,
Hadramaut dan Oman di bagian Selatan dan Tenggara semenanjung tanah Arab.
Kawasan Yaman telah memeluk Islam semenjak tahun 630-631 hijriyah tepatnya pada
zaman Ali bin Abi Thalib. Pengislaman Yaman ini mempunyai implikasi yang besar
terhadap proses Islamisasi Asia Tenggara karena pelaut dan pedagang Yaman
menyebarkan agama Islam di sekitar pelabuhan tempat mereka singgah di Asia
Tenggara.[6]
b.
Teori Gujarat
Teori
yang mengatakan bahwa Islam di nusantara datang dari India pertama kali
dikemukakan oleh Pijnapel tahun 1872. Berdasarkan terjemahan Prancis tentang
catatan perjalanan Sulaiman, Marcopolo, dan Ibnu Batutah, ia menyimpulkan bahwa
orang-orang Arab yang bermadzhab Syafii dari Gujarat dan Malabar di India yang
membawa Islam ke Asia Tenggara. Dia mendukung teorinya ini dengan menyatakan
bahwa, melalui perdagangan, amat memungkinkan terselenggaranya hubungan antara
kedua wilayah ini, ditambah lagi dengan umumnya istilah-istilah Persia yang
dibawa dari India, digunakan oleh masyarakat kota-kota pelabuhan Nusantara.
Teori ini lebih lanjut dikembangkan oleh Snouk Hurgronye yang melihat para
pedagang kota pelabuhan Dakka di India Selatan sebagai pembawa Islam ke wilayah
nusantara.[7]
Teori Snock Hurgronye ini lebih lanjut dikembangkan oleh Morrison pada 1951.
Dengan menunjuk tempat yang pasti di India, ia menyatakan dari sanalah Islam
dating ke nusantara. Ia menunjuk pantai Koromandel sebagai pelabuhan tempat
bertolaknya para pedagang muslim dalam pelayaran mereka menuju nusantara.
c. Teori Persia
Teori
Persia tentang kedatangan Islam di nusantara. Pembangun teori ini di Indonesia
adalah Hoesein Djayadiningrat. Fokus pandangan teori ini tentang masukkanya
agama Islam ke nusantara berbeda dengan teori India dan Arab, sekalipun
mempunyai kesamaan masalah Gujaratnya, serta Madzhab Syafii-nya. Teori Persia
lebih menitikberatkan tinjauannya kepada kebudayaan yang hidup di kalangan
masyarakat Islam Indonesia yang dirasakan mempunyai persamaan dengan Persia.[8]
Kesamaan
kebudayaan ini dapat dilihat pada masyarakat Islam Indonesia antara lain :
Pertama, peringatan 10 Muharram atau Asyura sebagai hari peringatan Syiah atas
kematian syahidnya Husain. Peringatan ini berbentuk pembuatan bubur Syura. Di
Minangkabau bulan Muharram disebut bulan Hasan-Husain.
Kedua, nisan
pada makam Malikus Saleh (1297) dan
makam Malik Ibrahim (1419) di Gresik dipesan dari Gujarat. Dalam hal ini teori
Persia mempunyai kesamaan mutlak dengan teori Gujarat. Tetapi sangat berbeda
jauh dengan pandangan CE Morisson.[9]
C. Proses Jalur Islamisasi Di Nusantara dan
Bukti Artefak yang Bernuansa Islam
Menurut Uka
Tjandrasasmita, saluran-saluran islamisasi yang berkembang ada empat, yaitu:
a) Perdagangan
Pada taraf permulaan, saluran islamisasi adalah perdagangan. Kesibukan
lalu lintas perdagangan pada abad ke-7 hingga ke-16 M. membuat
pedagang-pedagang Muslim (Arab, Persia dan India) turut ambil bagian dalam
perdagangan dari negeri-negeri bagian barat, tenggara dan Timur Benua Asia.
Saluran Islamisasi melalui
perdagangan ini sangat menguntungkan karena para raja dan bangsawan turut serta
dalam kegiatan perdagangan, bahkan mereka menjadi pemilik kapal dan saham.
Mengutip pendapat Tome Pires berkenaan dengan saluran Islamisasi melalui
perdagangan ini di pesisir Pulau Jawa, Uka
Tjandrasasmita menyebutkan bahwa para pedagang Muslim banyak yang
bermukim di pesisir pulau Jawa yang penduduknya ketika itu masih kafir. Mereka
berhasil mendirikan masjid-masjid dan mendatangkan mullah-mullah dari luar
sehingga jumlah mereka menjadi banyak, dan karenanya anak-anak Muslim itu
menjadi orang Jawa dan kaya-kaya.[10]
Di beberapa tempat, penguasa-penguasa Jawa, yang menjabat sebagai
bupati-bupati Majapahit yang ditempatkan di pesisir utara Jawa banyak yang
masuk Islam, bukan hanya karena factor politik dalam negeri yang sedang goyah,
tetapi terutama karena factor hubungan ekonomi dengan pedagang-pedagang Muslim.
b) Perkawinan
Dari sudut ekonomi, para pedagnang Muslim memiliki status social
yang lebih baik daripada kebanyakan pribumi, sehingga penduduk pribumi,
terutama putri-putri bangsawan, tertarik untuk menjadi istri saudagar-saudagar
itu. Sebelum kawin, mereka diislamkan terlebih dahulu. Setelah mereka mempunyai
keturunan, lingkungan mereka makin luas. Akhirnya, timbul kampung-kampung,
daerah-daerah dan kerajaan-kerajaan Muslim. Dalam perkembangan berikutnya, ada
pula wanita Muslim yang dikawani oleh keturunan bangsawan, tentu saja setelah
yang terakhir ini masuk Islam terlebih dahulu.
Jalur perkawinan ini lebih menguntungkan apabila terjadi antara
saudagar Muslim dengan anak bangsawan atau anak raja dan anak adipati, karena
raja, adipati atau bangsawan itu kemudian turut mempercepat proses Islamisasi.
Demikianlah yang terjadi antara Raden Rahmat atau Sunan Ampel dengan Nyai
Manila, Sunan Gunung Jati dengan Nyai Kawunganten, Brawijaya dengan putri Campa
yang menurunkan Raden Patah (raja pertama Demak) dan lain-lain.
c) Pendidikan
Islamisasi juga dilakukan melalui pendidikan, baik pesantren maupun
pondok yang diselenggarakan oleh guru-guru agama, kiai-kiai, dan ulama-ulama.
Di pesantren atau pondok itu, calon ulama, guru agama, dan kiai mendapat
pendidikan agama. Setelah keluar dari pesantren, mereka pulang ke kampong
masing-masing kemudian berdakwah ke tempat tertentu mengajarkan Islam.
Misalnya, pesantren yang didirikan oleh Raden Rahmat di Ampel Denta Surabaya
dan Sunan Giri di Giri. Keluaran pesantren Giri ini banyak yang diundang ke
Maluku untuk mengajarkan agama Islam.
d) Kesenia
Saluran Islamisasi melaui kesenian yang paling terkenal adalah
pertunjukan wayang. Dikatakan, Sunan Kalijaga adalah tokoh yang paling mahir
dalam mementaskan wayang. Dia tidak pernah meminta upah pertunjukan, tetapi ia
meminta para penonton untuk mengikutinya mengucapkan kalimat syahadat. Sebagian
besar cerita wayang masih dipetik dari cerita Mahabharata dan Ramayana, tetapi
di dalam cerita itu disisipkan ajaran dan nama-nama pahlawan Islam.
Kesenian-kesenian lain juga dijadikan alat Islamisasi, seperti sastra (hikayat,
babad dan sebagainya), seni bangunan dan seni ukir.[11]
D. Peran Kerajaan Islam dalam Islamisasi dan
Perkembangan Awal Pendidikan Islam di Nusantara
Ada
beberapa pusat strategis dalam penyebaran agama islam di Nusantara,pusat-pusat
penyebaran agama islam dapat menyebar luas melalui tiga kerjaan besar.
1. Kerajaan Samudra Pasai
Kerajaan
Islam pertama di Indonesia adalah kerajaan Samudra Pasai, yang didirikan pada
abad ke-10 M dengan raja pertamanya Malik Ibrahim bin Mahdum. Yang kedua
bernama Al-Malik Al-Shaleh dan yang terakhir bernama Al-Malik Sabar Syah (tahun
1444 M atau abad ke-15 H).[12]
Pada tahun 1345, Ibnu Batutah dari Maroko sempat singgah di Kerajaan Pasai pada
zaman pemerintahan Malik Az-Zahir, raja yang terkenal alim dalam ilmu agama dan
bermazhab Syafi’i, mengadakan pengajian sampai waktu sholat Ashar dan fasih
berbahasa Arab serta mempraktekkan pola hidup yang sederhana.[13]
Keterangan
Ibnu Batutah tersebut dapat ditarik kesimpulan pendidikan yang berlaku di zaman
kerajaan Pasai sebagai berikut:
1. Materi pendidikan
dan pengajaran agama bidang syari’at adalah Fiqh mazhab Syafi’i.
2. Sistem
pendidikannya secara informal berupa majlis ta’lim dan halaqoh.
3. Tokoh pemerintahan
merangkap tokoh agama
4. Biaya pendidikan
bersumber dari Negara
Pada
zaman kerajaan Samudra Pasai mencapai kejayaannya pada abad ke-14 M, maka
pendidikan juga tentu mendapat tempat tersendiri. Mengutip keterangan Tome
Pires, yang menyatakan bahwa “di Samudra Pasai banyak terdapat kota, dimana
antar warga kota tersebut terdapat orang-orang berpendidikan”[14]
Menurut
Ibnu Batutah juga, Pasai pada abad ke-14 M, sudah merupakan pusat studi Islam
di Asia Tenggara, dan banyak berkumpul ulama-ulama dari negara-negara Islam.
Ibnu Batutah menyatakan bahwa Sultan Malikul Zahir adalah orang yang cinta
kepada para ulama dan ilmu pengetahuan. Bila hari jum’at tiba, Sultan
sembahyang di Masjid menggunakan pakaian ulama, setelah sembahyang mengadakan
diskusi dengan para alim pengetahuan agama. Sistem halaqoh yaitu para murid
mengambil posisi melingkari guru. Guru duduk di tengah-tengah lingkaran murid
dengan posisi seluruh wajah murid menghadap guru.
2. Kerajaan Perlak
Kerajaan
Islam kedua di Indonesia adalah Perlak di Aceh. Rajanya yang pertama Sultan
Alaudin (tahun 1161-1186 H/abad 12 M). Antara Pasai dan Perlak terjalin kerja
sama yang baik sehingga seorang Raja Pasai menikah dengan Putri Raja Perlak.
Perlak merupakan daerah yang terletak sangat strategis di Pantai Selat Malaka,
dan bebas dari pengaruh Hindu.[15]
Kerajaan
Islam Perlak juga memiliki pusat pendidikan Islam Dayah Cot Kala. Dayah
disamakan dengan Perguruan Tinggi, materi yang diajarkan yaitu bahasa Arab,
tauhid, tasawuf, akhlak, ilmu bumi, ilmu bahasa dan sastra Arab, sejarah dan
tata negara, mantiq, ilmu falaq dan filsafat. Daerahnya kira-kira dekat Aceh
Timur sekarang. Pendirinya adalah ulama Pangeran Teungku Chik M.Amin, pada
akhir abad ke-3 H, abad 10 M. Inilah pusat pendidikan pertama.
Rajanya
yang ke enam bernama Sultan Mahdum Alaudin Muhammad Amin yang memerintah antara
tahun 1243-1267 M, terkenal sebagai seorang Sultan yang arif bijaksana lagi
alim. Beliau adalah seorang ulama yang mendirikan Perguruan Tinggi Islam yaitu
suatu Majlis Taklim tinggi dihadiri khusus oleh para murid yang sudah alim.
Lembaga tersebut juga mengajarkan dan membacakan kitab-kitab agama yang berbobot
pengetahuan tinggi, misalnya kitab Al-Umm karangan Imam Syafi’i. [16]Dengan
demikian pada kerajaan Perlak ini proses pendidikan Islam telah berjalan cukup
baik.
3. Kerajaan
Aceh Darussalam
Proklamasi
kerajaan Aceh Darussalam adalah hasil peleburan kerajaan Islam Aceh di belahan
Barat dan Kerajaan Islam Samudra Pasai di belahan Timur. Putra Sultan Abidin
Syamsu Syah diangkat menjadi Raja dengan Sultan Alaudin Ali Mughayat Syah
(1507-1522 M). Bentuk teritorial yang terkecil dari susunan pemerintahan Kerajaan
Aceh adalah Gampong (Kampung), yang dikepalai oleh seorang Keucik dan Waki
(wakil). Gampong-gampong yang letaknya berdekatan dan yang penduduknya
melakukan ibadah bersama pada hari jum’at di sebuah masjid merupakan suatu
kekuasaan wilayah yang disebut mukim, yang memegang peranan pimpinan mukim
disebut Imeum mukim[. [17]Jenjang
pendidikan yang ada di Kerajaan Aceh Darussalam diawali pendidikan terendah
Meunasah (Madrasah). Yang berarti tempat belajar atau sekolah, terdapat di
setiap gampong dan mempunyai multi fungsi antara lain:
1. Sebagai tempat belajar Al-Qur’an
2. Sebagai Sekolah Dasar, dengan materi yang
diajarkan yaitu menulis dan membaca huruf Arab, Ilmu agama, bahasa Melayu,
akhlak dan sejarah Islam.
3. Sebagai tempat ibadah sholat 5 waktu untuk
kampung itu.
4. Sebagai tempat sholat tarawih dan tempat
membaca Al-Qur’an di bulan puasa.
5. Tempat kenduri Maulud pada bulan Mauludan.
6. Tempat menyerahkan zakat fitrah pada hari
menjelang Idhul Fitri atau bulan puasa
7. Tempat mengadakan perdamaian bila terjadi
sengketa antara anggota kampung.
8. Tempat bermusyawarah dalam segala urusan
9. Letak meunasah harus berbeda dengan letak
rumah, supaya orang segera dapat mengetahui mana yang rumah atau meunasah dan
mengetahui arah kiblat sholat.[18]
Bidang
pendidikan di kerajaan Aceh Darussalam benar-benar menjadi perhatian. Pada saat
itu terdapat lembaga-lembaga negara yang bertugas dalam bidang pendidikan dan
ilmu pengetahuan yaitu:
a)
Balai Seutia Hukama, merupakan lembaga ilmu pengetahuan, tempat
berkumpulnya para ulama, ahli pikir dan cendikiawan untuk membahas dan
mengembangkan ilmu pengetahuan.
b)
Balai Seutia Ulama, merupakan jawatan pendidikan yang bertugas
mengurus masalah-masalah pendidikan dan pengajaran.
c)
Balai Jama’ah Himpunan Ulama, merupakan kelompok studi tempat para
ulama dan sarjana berkumpul untuk bertukar fikiran membahas persoalan
pendidikan dan ilmu pendidikannya.
Ulama
dan pujangga yang terkenal di Aceh ialah Syekh Nuruddin Ar-Raniri, Syeh Ahmad
Khatib Langin, Syeh Hamzah Fanuri. [19]
Ia menentang paham wujudiyah dan menulis banyak kitab mengenai agama Islam
dalam bahasa Arab maupun Melayu klasik. Kitab yang terbesar dan tertinggi mutu
dalam kesustraan Melayu klasik dan berisi tentang sejarah kerajaan Aceh adalah
kitab Bustanul Salatin.
E. Kesimpulan
Ada
banyak teori yang menjelaskan masuknya islam ke Indonesia. Teori yang menyatakan bahwa Islam datang
langsung dari Arab, atau tepatnya Hadramaut teori ini dikemukakan Crawfurd 1820
dan Teori yang mengatakan bahwa Islam di nusantara datang dari India pertama
kali dikemukakan oleh Pijnapel tahun 1872.
Berdasarkan
terjemahan Prancis tentang catatan perjalanan Sulaiman, Marcopolo, dan Ibnu
Batutah, ia menyimpulkan bahwa orang-orang Arab yang bermadzhab Syafii dari
Gujarat dan Malabar di India yang membawa Islam ke Asia Tenggara. Teori Persia
tentang kedatangan Islam di nusantara. Pembangun teori ini di Indonesia adalah
Hoesein Djayadiningrat.
Sedangkan
masuknya islam ke Nusantara melalui banyak cara diantaranya, perdagangan,
perkawinan, pendidikan dan kesenian. Dengan jalur ini islam dengan mudah masuk
ke Indonesia yang dibawa oleh para pedagang dari arab, Gujarat dan Persia.
Adapun
pusat-pusat islamisasi pertama ialah dari Aceh dengan kerajaan yang mempunyai
peran dalam proses islamisasi seperti kerajaan Samudra Pasai, Kerajaan Perlak,
dan Kerajaan Aceh Darussalam. Perkembangan pendidikan islam pada masa tiga
kerajaan ini sudah berkembang dengan pesat.
Daftar Pustaka
Azra, Azyumardi. Renaisans
Islam Asia Tenggara Sejarah Wacana & Kekuasaan. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 1999.
Halimi, Mahayudin Hj. Yahya & Ahmad Jelani. Sejarah Islam.
Pulau Penang: Fajar Bakti, 1993.
Hamka. Masuk dan Berkembangnya Agama Islam di daerah pesisir Sumatra
Utara, dalam Risalah Seminar Sedjarah Masuknya Islam ke Indonesia. Medan
: Panitia Seminar Sedjarah Masuknya Islam ke Indonesia, 1963.
Hasbullah. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2001.
Hasjmy, A. Sejarah Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: PT Bulan
Bintang, 1990.
Hussain, Ahmad Ibrahim& Yasmin. Readings on Islam in Southeast
Asia,. Singapore: Institue of Southeast Asia Studies, 1990.
Ibrahim, M. Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh.
Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1991.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2000.
[1] Badri
Yatim. Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Raja Gravindo Persada. 2000). 191.
[2] A. Hasjmy. Sejarah Kebudayaan di
Indonesia, (Jakarta: PT Bulan Bintang. 1990). 3.
[3] Ahmad
Ibrahim& Yasmin Hussain, Readings on Islam in Southeast Asia, (Singapore:
Institue of Southeast Asia Studies, 1985) 7-19.
[4] Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia
Tenggara Sejarah Wacana & Kekuasaan. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1999).
31.
[5] Hamka. Masuk dan Berkembangnya Agama
Islam di daerah pesisir Sumatra Utara, dalam Risalah Seminar Sedjarah Masuknya
Islam ke Indonesia, (Medan, Panitia Seminar Sedjarah Masuknya Islam ke
Indonesia, 1963). 91.
[6] Mahayudin Hj. Yahya & Ahmad Jelani
Halimi, Sejarah Islam. (Pulau Penang: Fajar Bakti. 1993). 559.
[7] Azyumard Azra. Renaisans Islam Asia
Tenggara, 32
[8] Ahmad Ibrahim & Yasmin Hussain.7-9.
[9] Sayed Alwi bin Thahir al-Haddad. Sejarah
Perkembangan Islam di Timur Jauh, (Jakarta: Maktab al-Daimi, 1957). 21.
[10] Badri
Yatim. 201.
[11] Badri
Yatim. 203.
[12] Abdullah
Mustofa Aly . Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Bandung : CV. Pustaka
Setia, 1999). 54.
[13] Zauharini. Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta : PT. Bumi
Aksara. 2000).135.
[14] M. Ibrahim. Sejarah Daerah Propinsi
Daerah Istimewa Aceh,( Jakarta : CV. Tumaritis. 1991). 61.
[15] Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di
Indonesia, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001). 29.
[16] Abdullah Mustofa Aly. 54.
[17] M. Ibrahim. 75.
[18] M. Ibrahim. 76.
No comments:
Post a Comment