Islamisasi Dan Pertumbuhan Pendidikan Islam di Masa Awal

Islamisasi Dan Pertumbuhan Pendidikan Islam di Masa Awal

Oleh: Idham Okalaksana

 

A.  Pendahuluan

Pada masa kedatangan dan penyebaran Islam di Indonesia terdapat aneka keragaman mulai dari suku, organisasi dalam pemerintahan dan budaya. Suku bangsa Indonesia yang bertempat tinggal di daerah-daerah pedalaman, jika dilihat dari sudut antropologi budaya, belum banyak mengalami percampuran jenis-jenis bangsa dan budaya dari luar, seperti dari India, Persia, Arab, dan Eropa. Struktur sosial, ekonomi, dan budayanya agak statis dibandingkan dengan suku bangsa yang mendiami daerah pesisir. Mereka yang berdiam di pesisir, lebih-lebih di kota pelabuhan, menunjukkan ciri-ciri fisik dan sosial budaya yang lebih berkembang akibat percampuran dengan bangsa dan budaya dari luar.

Perkembangan lembaga-lembaga pendidikan tersebut telah menarik perhatian para ahli baik dari dalam maupun luar negeri untuk melakukan studi ilmiah secara komprehensif. Kini sudah banyak hasil karya penelitian para ahli yang menginformasikan tentang pertumbuhan dan perkembangan lembaga-lembaga pendidikan islam tersebut. Tujuannya selain untuk memperkaya khazanah ilmu pengetahuan yang bernuansa keislaman juga sebagai bahan rujukan dan perbandingan bagi para pengelola pendidikan islam pada masa-masa berikutnya.

Sebelum kita mengkaji lebih jauh tentang perkembangan pendidikan islam di Indonesia, pantasnya kita mengkaji tentang sejarah masuknya islam di Indonesia dan pendidikan pada masa permulaan. Di sini pemakalah berusaha memaparkan tentang sejarah masuknya islam di indonesia dan pendidikan islam pada masa permulaan sebagai awal dari perjalanan untuk mengkaji lebih jauh tentang perkembangan pendidikan islam di Indonesia.

B.  Teori Masuknya Islam di Indonesia

Sejak awal, penduduk kepulauan Indonesia dikenal sebagai pelayar-pelayar yang sanggup mengarungi lautan lepas. Sejak awal abad Masehi sudah ada rute-rute pelayaran dan perdagangan antara kepulauan Indonesia dengan berbagai daerah di daratan Asia tenggara. Wilayah barat Nusantara dan sekitar malaka sejak masa kuno merupakan wilayah yang menjadi titik perhatian, terutama karena hasil bumi yang dijual disana menarik bagi para pedagang dan menjadi daerah lintasan penting antara cina dan india. Sementara itu, pala dan cengkeh yang berasal dari Maluku dipasarkan di jawa dan Sumatra untuk kemudian dijual pada pedagang asing. Pelabuhan-pelabuhan penting disumatra dan jawa antara abad I dan ke VII M sering disinggahi pedagang asing seperti, lamuri (Aceh), barus dan Palembang di Sumatra, (sunda kelapa dan gresik di jawa).[1]

Pedagang-pedagang muslim asal Arab, Persia, dan India juga ada yang sampai ke kepulauan Indonesia untuk berdagang, sejak Abad ke- 7 M (Abad I H), ketika islam pertama kali berkembang di Timur Tengah. Malaka jauh sebelum ditaklukkan portugis (1551), merupakan pusat utama lalu lintas perdagangan dan pelayaran. Melalui malaka, hasil hutan dan rempah-rempah dari seluruh pelosok Nusantara dibawa ke Cina dan India, terutama Gujarat, yang melakukan hubungan dagang langsung dengan Malaka pada waktu itu. Dengan demikian, Malaka menjadi mata rantai pelayaran yang penting.[2]

Mengenai tempat asal dan kapan datangnya Islam ke Nusantara, sedikitnya ada tiga teori besar. Di bawah ini dijelaskan secara singkat seputar teori-teori yang berkaitan dengan masuknya Islam di Nusantara :

a.    Teori Arab

Pertama, teori yang menyatakan bahwa Islam datang langsung dari Arab, atau tepatnya Hadramaut. Teori ini dikemukakan Crawfurd (1820), Keyzer (1859), Niemann (1861), De Hollander (1861), dan Veth (1878). [3] Crawfurd menyatakan bahwa Islam datang langsung dari Arab, meskipun ia menyebut adanya hubungan dengan orang-orang Mohameddan di India Timur. Teori ini juga dipegang oleh Niemann dan de Hollander, tetapi dengan menyebut Hadramaut, bukan Mesir, sebagai sumber datangnya Islam, sebab muslim Hadaramaut adalah pengikut madzhab Syafii seperti juga kaum muslimin nusantara.

Sedangkan Veth hanya menyebut orang-orang Arab, tanpa menunjuk asal mereka di Timur Tengah maupun kaitannya dengan Hadramaut, Mesir atau India.[4] Teori yang sama juga diajukan oleh Hamka dalam seminar ‘Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia’ pada tahun 1962. Menurutnya, Islam masuk ke Indonesia langsung dari Arab (Makkah), bukan dari India.[5]

Sebagian besar dari pedagang Arab yang berlayar ke kawasan Indonesia datang dari Yaman, Hadramaut dan Oman di bagian Selatan dan Tenggara semenanjung tanah Arab. Kawasan Yaman telah memeluk Islam semenjak tahun 630-631 hijriyah tepatnya pada zaman Ali bin Abi Thalib. Pengislaman Yaman ini mempunyai implikasi yang besar terhadap proses Islamisasi Asia Tenggara karena pelaut dan pedagang Yaman menyebarkan agama Islam di sekitar pelabuhan tempat mereka singgah di Asia Tenggara.[6]

            b.    Teori Gujarat

Teori yang mengatakan bahwa Islam di nusantara datang dari India pertama kali dikemukakan oleh Pijnapel tahun 1872. Berdasarkan terjemahan Prancis tentang catatan perjalanan Sulaiman, Marcopolo, dan Ibnu Batutah, ia menyimpulkan bahwa orang-orang Arab yang bermadzhab Syafii dari Gujarat dan Malabar di India yang membawa Islam ke Asia Tenggara. Dia mendukung teorinya ini dengan menyatakan bahwa, melalui perdagangan, amat memungkinkan terselenggaranya hubungan antara kedua wilayah ini, ditambah lagi dengan umumnya istilah-istilah Persia yang dibawa dari India, digunakan oleh masyarakat kota-kota pelabuhan Nusantara. Teori ini lebih lanjut dikembangkan oleh Snouk Hurgronye yang melihat para pedagang kota pelabuhan Dakka di India Selatan sebagai pembawa Islam ke wilayah nusantara.[7] Teori Snock Hurgronye ini lebih lanjut dikembangkan oleh Morrison pada 1951. Dengan menunjuk tempat yang pasti di India, ia menyatakan dari sanalah Islam dating ke nusantara. Ia menunjuk pantai Koromandel sebagai pelabuhan tempat bertolaknya para pedagang muslim dalam pelayaran mereka menuju nusantara.

c.     Teori Persia

Teori Persia tentang kedatangan Islam di nusantara. Pembangun teori ini di Indonesia adalah Hoesein Djayadiningrat. Fokus pandangan teori ini tentang masukkanya agama Islam ke nusantara berbeda dengan teori India dan Arab, sekalipun mempunyai kesamaan masalah Gujaratnya, serta Madzhab Syafii-nya. Teori Persia lebih menitikberatkan tinjauannya kepada kebudayaan yang hidup di kalangan masyarakat Islam Indonesia yang dirasakan mempunyai persamaan dengan Persia.[8]

Kesamaan kebudayaan ini dapat dilihat pada masyarakat Islam Indonesia antara lain : Pertama, peringatan 10 Muharram atau Asyura sebagai hari peringatan Syiah atas kematian syahidnya Husain. Peringatan ini berbentuk pembuatan bubur Syura. Di Minangkabau bulan Muharram disebut bulan Hasan-Husain.

Kedua, nisan pada makam  Malikus Saleh (1297) dan makam Malik Ibrahim (1419) di Gresik dipesan dari Gujarat. Dalam hal ini teori Persia mempunyai kesamaan mutlak dengan teori Gujarat. Tetapi sangat berbeda jauh dengan pandangan CE Morisson.[9]

 

C.  Proses Jalur Islamisasi Di Nusantara dan Bukti Artefak yang Bernuansa Islam

Menurut Uka Tjandrasasmita, saluran-saluran islamisasi yang berkembang ada empat, yaitu:

a)    Perdagangan

Pada taraf permulaan, saluran islamisasi adalah perdagangan. Kesibukan lalu lintas perdagangan pada abad ke-7 hingga ke-16 M. membuat pedagang-pedagang Muslim (Arab, Persia dan India) turut ambil bagian dalam perdagangan dari negeri-negeri bagian barat, tenggara dan Timur Benua Asia.

 Saluran Islamisasi melalui perdagangan ini sangat menguntungkan karena para raja dan bangsawan turut serta dalam kegiatan perdagangan, bahkan mereka menjadi pemilik kapal dan saham. Mengutip pendapat Tome Pires berkenaan dengan saluran Islamisasi melalui perdagangan ini di pesisir Pulau Jawa, Uka  Tjandrasasmita menyebutkan bahwa para pedagang Muslim banyak yang bermukim di pesisir pulau Jawa yang penduduknya ketika itu masih kafir. Mereka berhasil mendirikan masjid-masjid dan mendatangkan mullah-mullah dari luar sehingga jumlah mereka menjadi banyak, dan karenanya anak-anak Muslim itu menjadi orang Jawa dan kaya-kaya.[10]

Di beberapa tempat, penguasa-penguasa Jawa, yang menjabat sebagai bupati-bupati Majapahit yang ditempatkan di pesisir utara Jawa banyak yang masuk Islam, bukan hanya karena factor politik dalam negeri yang sedang goyah, tetapi terutama karena factor hubungan ekonomi dengan pedagang-pedagang Muslim.

b)   Perkawinan

Dari sudut ekonomi, para pedagnang Muslim memiliki status social yang lebih baik daripada kebanyakan pribumi, sehingga penduduk pribumi, terutama putri-putri bangsawan, tertarik untuk menjadi istri saudagar-saudagar itu. Sebelum kawin, mereka diislamkan terlebih dahulu. Setelah mereka mempunyai keturunan, lingkungan mereka makin luas. Akhirnya, timbul kampung-kampung, daerah-daerah dan kerajaan-kerajaan Muslim. Dalam perkembangan berikutnya, ada pula wanita Muslim yang dikawani oleh keturunan bangsawan, tentu saja setelah yang terakhir ini masuk Islam terlebih dahulu.

Jalur perkawinan ini lebih menguntungkan apabila terjadi antara saudagar Muslim dengan anak bangsawan atau anak raja dan anak adipati, karena raja, adipati atau bangsawan itu kemudian turut mempercepat proses Islamisasi. Demikianlah yang terjadi antara Raden Rahmat atau Sunan Ampel dengan Nyai Manila, Sunan Gunung Jati dengan Nyai Kawunganten, Brawijaya dengan putri Campa yang menurunkan Raden Patah (raja pertama Demak) dan lain-lain.

c)    Pendidikan

Islamisasi juga dilakukan melalui pendidikan, baik pesantren maupun pondok yang diselenggarakan oleh guru-guru agama, kiai-kiai, dan ulama-ulama. Di pesantren atau pondok itu, calon ulama, guru agama, dan kiai mendapat pendidikan agama. Setelah keluar dari pesantren, mereka pulang ke kampong masing-masing kemudian berdakwah ke tempat tertentu mengajarkan Islam. Misalnya, pesantren yang didirikan oleh Raden Rahmat di Ampel Denta Surabaya dan Sunan Giri di Giri. Keluaran pesantren Giri ini banyak yang diundang ke Maluku untuk mengajarkan agama Islam.

d)   Kesenia

Saluran Islamisasi melaui kesenian yang paling terkenal adalah pertunjukan wayang. Dikatakan, Sunan Kalijaga adalah tokoh yang paling mahir dalam mementaskan wayang. Dia tidak pernah meminta upah pertunjukan, tetapi ia meminta para penonton untuk mengikutinya mengucapkan kalimat syahadat. Sebagian besar cerita wayang masih dipetik dari cerita Mahabharata dan Ramayana, tetapi di dalam cerita itu disisipkan ajaran dan nama-nama pahlawan Islam. Kesenian-kesenian lain juga dijadikan alat Islamisasi, seperti sastra (hikayat, babad dan sebagainya), seni bangunan dan seni ukir.[11]

 

D.  Peran Kerajaan Islam dalam Islamisasi dan Perkembangan Awal Pendidikan Islam di Nusantara

Ada beberapa pusat strategis dalam penyebaran agama islam di Nusantara,pusat-pusat penyebaran agama islam dapat menyebar luas melalui  tiga kerjaan besar.

1.         Kerajaan Samudra Pasai

Kerajaan Islam pertama di Indonesia adalah kerajaan Samudra Pasai, yang didirikan pada abad ke-10 M dengan raja pertamanya Malik Ibrahim bin Mahdum. Yang kedua bernama Al-Malik Al-Shaleh dan yang terakhir bernama Al-Malik Sabar Syah (tahun 1444 M atau abad ke-15 H).[12] Pada tahun 1345, Ibnu Batutah dari Maroko sempat singgah di Kerajaan Pasai pada zaman pemerintahan Malik Az-Zahir, raja yang terkenal alim dalam ilmu agama dan bermazhab Syafi’i, mengadakan pengajian sampai waktu sholat Ashar dan fasih berbahasa Arab serta mempraktekkan pola hidup yang sederhana.[13]

Keterangan Ibnu Batutah tersebut dapat ditarik kesimpulan pendidikan yang berlaku di zaman kerajaan Pasai sebagai berikut:

1.         Materi pendidikan dan pengajaran agama bidang syari’at adalah Fiqh mazhab Syafi’i.

2.         Sistem pendidikannya secara informal berupa majlis ta’lim dan halaqoh.

3.         Tokoh pemerintahan merangkap tokoh agama

4.         Biaya pendidikan bersumber dari Negara

Pada zaman kerajaan Samudra Pasai mencapai kejayaannya pada abad ke-14 M, maka pendidikan juga tentu mendapat tempat tersendiri. Mengutip keterangan Tome Pires, yang menyatakan bahwa “di Samudra Pasai banyak terdapat kota, dimana antar warga kota tersebut terdapat orang-orang berpendidikan”[14]

Menurut Ibnu Batutah juga, Pasai pada abad ke-14 M, sudah merupakan pusat studi Islam di Asia Tenggara, dan banyak berkumpul ulama-ulama dari negara-negara Islam. Ibnu Batutah menyatakan bahwa Sultan Malikul Zahir adalah orang yang cinta kepada para ulama dan ilmu pengetahuan. Bila hari jum’at tiba, Sultan sembahyang di Masjid menggunakan pakaian ulama, setelah sembahyang mengadakan diskusi dengan para alim pengetahuan agama. Sistem halaqoh yaitu para murid mengambil posisi melingkari guru. Guru duduk di tengah-tengah lingkaran murid dengan posisi seluruh wajah murid menghadap guru.

2.         Kerajaan Perlak

Kerajaan Islam kedua di Indonesia adalah Perlak di Aceh. Rajanya yang pertama Sultan Alaudin (tahun 1161-1186 H/abad 12 M). Antara Pasai dan Perlak terjalin kerja sama yang baik sehingga seorang Raja Pasai menikah dengan Putri Raja Perlak. Perlak merupakan daerah yang terletak sangat strategis di Pantai Selat Malaka, dan bebas dari pengaruh Hindu.[15]

Kerajaan Islam Perlak juga memiliki pusat pendidikan Islam Dayah Cot Kala. Dayah disamakan dengan Perguruan Tinggi, materi yang diajarkan yaitu bahasa Arab, tauhid, tasawuf, akhlak, ilmu bumi, ilmu bahasa dan sastra Arab, sejarah dan tata negara, mantiq, ilmu falaq dan filsafat. Daerahnya kira-kira dekat Aceh Timur sekarang. Pendirinya adalah ulama Pangeran Teungku Chik M.Amin, pada akhir abad ke-3 H, abad 10 M. Inilah pusat pendidikan pertama.

Rajanya yang ke enam bernama Sultan Mahdum Alaudin Muhammad Amin yang memerintah antara tahun 1243-1267 M, terkenal sebagai seorang Sultan yang arif bijaksana lagi alim. Beliau adalah seorang ulama yang mendirikan Perguruan Tinggi Islam yaitu suatu Majlis Taklim tinggi dihadiri khusus oleh para murid yang sudah alim. Lembaga tersebut juga mengajarkan dan membacakan kitab-kitab agama yang berbobot pengetahuan tinggi, misalnya kitab Al-Umm karangan Imam Syafi’i. [16]Dengan demikian pada kerajaan Perlak ini proses pendidikan Islam telah berjalan cukup baik.

3. Kerajaan Aceh Darussalam

Proklamasi kerajaan Aceh Darussalam adalah hasil peleburan kerajaan Islam Aceh di belahan Barat dan Kerajaan Islam Samudra Pasai di belahan Timur. Putra Sultan Abidin Syamsu Syah diangkat menjadi Raja dengan Sultan Alaudin Ali Mughayat Syah (1507-1522 M). Bentuk teritorial yang terkecil dari susunan pemerintahan Kerajaan Aceh adalah Gampong (Kampung), yang dikepalai oleh seorang Keucik dan Waki (wakil). Gampong-gampong yang letaknya berdekatan dan yang penduduknya melakukan ibadah bersama pada hari jum’at di sebuah masjid merupakan suatu kekuasaan wilayah yang disebut mukim, yang memegang peranan pimpinan mukim disebut Imeum mukim[. [17]Jenjang pendidikan yang ada di Kerajaan Aceh Darussalam diawali pendidikan terendah Meunasah (Madrasah). Yang berarti tempat belajar atau sekolah, terdapat di setiap gampong dan mempunyai multi fungsi antara lain:

1.     Sebagai tempat belajar Al-Qur’an

2.     Sebagai Sekolah Dasar, dengan materi yang diajarkan yaitu menulis dan membaca huruf Arab, Ilmu agama, bahasa Melayu, akhlak dan sejarah Islam.

3.     Sebagai tempat ibadah sholat 5 waktu untuk kampung itu.

4.     Sebagai tempat sholat tarawih dan tempat membaca Al-Qur’an di bulan puasa.

5.     Tempat kenduri Maulud pada bulan Mauludan.

6.     Tempat menyerahkan zakat fitrah pada hari menjelang Idhul Fitri atau bulan puasa

7.     Tempat mengadakan perdamaian bila terjadi sengketa antara anggota kampung.

8.     Tempat bermusyawarah dalam segala urusan

9.     Letak meunasah harus berbeda dengan letak rumah, supaya orang segera dapat mengetahui mana yang rumah atau meunasah dan mengetahui arah kiblat sholat.[18]

Bidang pendidikan di kerajaan Aceh Darussalam benar-benar menjadi perhatian. Pada saat itu terdapat lembaga-lembaga negara yang bertugas dalam bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan yaitu:

a)      Balai Seutia Hukama, merupakan lembaga ilmu pengetahuan, tempat berkumpulnya para ulama, ahli pikir dan cendikiawan untuk membahas dan mengembangkan ilmu pengetahuan.

b)      Balai Seutia Ulama, merupakan jawatan pendidikan yang bertugas mengurus masalah-masalah pendidikan dan pengajaran.

c)      Balai Jama’ah Himpunan Ulama, merupakan kelompok studi tempat para ulama dan sarjana berkumpul untuk bertukar fikiran membahas persoalan pendidikan dan ilmu pendidikannya.

Ulama dan pujangga yang terkenal di Aceh ialah Syekh Nuruddin Ar-Raniri, Syeh Ahmad Khatib Langin, Syeh Hamzah Fanuri. [19] Ia menentang paham wujudiyah dan menulis banyak kitab mengenai agama Islam dalam bahasa Arab maupun Melayu klasik. Kitab yang terbesar dan tertinggi mutu dalam kesustraan Melayu klasik dan berisi tentang sejarah kerajaan Aceh adalah kitab Bustanul Salatin.

E.  Kesimpulan

Ada banyak teori yang menjelaskan masuknya islam ke Indonesia.  Teori yang menyatakan bahwa Islam datang langsung dari Arab, atau tepatnya Hadramaut teori ini dikemukakan Crawfurd 1820 dan Teori yang mengatakan bahwa Islam di nusantara datang dari India pertama kali dikemukakan oleh Pijnapel tahun 1872.

Berdasarkan terjemahan Prancis tentang catatan perjalanan Sulaiman, Marcopolo, dan Ibnu Batutah, ia menyimpulkan bahwa orang-orang Arab yang bermadzhab Syafii dari Gujarat dan Malabar di India yang membawa Islam ke Asia Tenggara. Teori Persia tentang kedatangan Islam di nusantara. Pembangun teori ini di Indonesia adalah Hoesein Djayadiningrat.

Sedangkan masuknya islam ke Nusantara melalui banyak cara diantaranya, perdagangan, perkawinan, pendidikan dan kesenian. Dengan jalur ini islam dengan mudah masuk ke Indonesia yang dibawa oleh para pedagang dari arab, Gujarat dan Persia. 

Adapun pusat-pusat islamisasi pertama ialah dari Aceh dengan kerajaan yang mempunyai peran dalam proses islamisasi seperti kerajaan Samudra Pasai, Kerajaan Perlak, dan Kerajaan Aceh Darussalam. Perkembangan pendidikan islam pada masa tiga kerajaan ini sudah berkembang dengan pesat.

 

 Daftar Pustaka

 

Azra, Azyumardi. Renaisans Islam Asia Tenggara Sejarah Wacana & Kekuasaan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1999.

Halimi, Mahayudin Hj. Yahya & Ahmad Jelani. Sejarah Islam. Pulau Penang: Fajar Bakti, 1993.

Hamka. Masuk dan Berkembangnya Agama Islam di daerah pesisir Sumatra Utara, dalam Risalah Seminar Sedjarah Masuknya Islam ke Indonesia. Medan : Panitia Seminar Sedjarah Masuknya Islam ke Indonesia, 1963.

Hasbullah. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001.

Hasjmy, A. Sejarah Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: PT Bulan Bintang, 1990.

Hussain, Ahmad Ibrahim& Yasmin. Readings on Islam in Southeast Asia,. Singapore: Institue of Southeast Asia Studies, 1990.

Ibrahim, M. Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1991.

Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000.

 

 

 

 

 

 



[1] Badri Yatim. Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Raja Gravindo Persada. 2000). 191.

[2] A. Hasjmy. Sejarah Kebudayaan di Indonesia, (Jakarta: PT Bulan Bintang. 1990). 3.

[3] Ahmad Ibrahim& Yasmin Hussain, Readings on Islam in Southeast Asia, (Singapore: Institue of Southeast Asia Studies, 1985) 7-19.

[4] Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara Sejarah Wacana & Kekuasaan. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1999). 31.

[5] Hamka. Masuk dan Berkembangnya Agama Islam di daerah pesisir Sumatra Utara, dalam Risalah Seminar Sedjarah Masuknya Islam ke Indonesia, (Medan, Panitia Seminar Sedjarah Masuknya Islam ke Indonesia, 1963). 91.

[6] Mahayudin Hj. Yahya & Ahmad Jelani Halimi, Sejarah Islam. (Pulau Penang: Fajar Bakti. 1993). 559.

 

[7] Azyumard Azra. Renaisans Islam Asia Tenggara,  32

[8] Ahmad Ibrahim & Yasmin Hussain.7-9.

[9] Sayed Alwi bin Thahir al-Haddad. Sejarah Perkembangan Islam di Timur Jauh, (Jakarta: Maktab al-Daimi, 1957). 21.

 

[10] Badri Yatim. 201.

[11] Badri Yatim. 203.

[12] Abdullah Mustofa Aly . Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Bandung : CV. Pustaka Setia, 1999). 54.

[13] Zauharini.  Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta : PT. Bumi Aksara. 2000).135.

[14] M. Ibrahim. Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh,( Jakarta : CV. Tumaritis. 1991). 61.

[15] Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001). 29.

 

[16] Abdullah Mustofa Aly.  54.

 

[17] M. Ibrahim. 75.

 

[18] M. Ibrahim. 76.

[19] Abudin Nata. Sejarah Pendidikan islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2011). 265.

 

 


No comments:

Post a Comment

Menjawab 10 pertanyaan

  Oleh: Idham Okalaksana Putra               Ada beberapa pertanyaan dari seroang teman yang menceritakan pengalamanya berbincang deng...